HUDUD
PENGERTIAN HUDUD
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) (Fiqhus Sunnah II: 302).
Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama (Manarus Sabil II: 360).
HUDUD SEBAGAI KAFARAH
Dari Ubadah bin Shamit r.a, ia bertutur: Kami pernah berada di dekat Nabi saw dalam salah satu majelis, Beliau bersabda, “Berjanji setialah kamu kepadaku, bahwa kamu tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri dan tidak (pula) akan berzina.” Kemudian Beliau membaca seluruh ayat ini. Lanjut Beliau, “Maka barangsiapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah akan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi hukuman maka hukuman itu adalah sebagai kafarah (penghapus dosanya), dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi olah Allah kesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah; Kalau Dia menghendaki diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki disiksa-Nya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I: 64 no: 18, Muslim III: 1333 no: 1709 dan Nasa’i VII: 148).
PIHAK YANG BERWENANG MELAKSANAKAN HUDUD
Tak ada yang berwenang menegakkan hudud, kecuali imam, kepala negara, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab, di masa nabi saw, Beliaulah yang melaksanakannya, demikian pula para Khalifahnya sepeninggal Beliau. Rasulullah saw pernah juga mengutus Unais r.a untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana dalam sabdanya saw:
“Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang itu, jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah!” (Hadis ini akan dimuat kembali dalam kisah yang akan segera dikemukakan)
Seorang tuan boleh melaksanakan hukuman atas hamba sahayanya. Hal ini mengacu pada sabda Nabi saw:
“Apabila seorang budak perempuan berzina, lalu terbukti ia berzina, maka hendaklah dia (tuannya) mencambuknya dengan sunguh-sungguh dan janganlah mencelanya. Kemudian jika ia berzina untuk kedua kalinya, maka juallah ia meki sekedar dengan harga sehelai rambut.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 165 No. 6839 dan Muslim III: 1328 No. 1703).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm 815 - 820.
Sabtu, 29 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar